Toleransi Terhadap Non Muslim Dalam Rangka Menjaga Persatuan Dan Kesatuan Bangsa
Dipenghujung setiap tahun, masyarakat dunia memiliki dua hari yang
besar yang senantiasa dirayakan yaitu hari Natal dan Tahun Baru. Begitu halnya
dengan di Indonesia. Bisa dilihat atribut-atribut perayaan Natal dan tahun baru
jauh-jauh hari sudah menghiasai penjuru kota. Kemeriahan ini dari tahun ke
tahun selalu menarik untuk dibahas apalagi di tahun politik seperti saat ini.
Seperti yang sudah diketahui bersama, Indonesia dengan beragam suku agama dan
budayanya adalah negara yang dihuni oeh mayoritas penduduk yang beragama Islam.
Jumlah umat Kristiani di Indonesia menurut data BPS mencapai sekitar 10% total
penduduk dan merupakan agama mayoritas kedua setelah Islam. Tetapi tentu jika
dilihat secara prosentase, umat Kristiani masih merupakan minoritas jika
dibandingkan dengan umat muslim yang jumlahnya hampir 89%. Jika mengkaitkannya
dengan konteks perayaan Natal dan Tahun Baru, yang selalu unik untuk dibahas
adalah bukan tentang bagaimana masyarakat Kristiani akan merayakan Natalnya
sebagai pemeluk agama minoritas tetapi lebih kepada bagaimana sikap masyarakat
muslim indonesia sebagai agama mayoritas menghadapi perayaan Natal masyarakat Kristiani.
Masih segar diingatan, beberapa tahun lalu perayaan Natal sempat
diwarnai hal kontroversial dikarenakan adanya isu toleransi terkait boleh
tidaknya masyarakat muslim mengucapkan selamat Natal kepada rekannya yang
merayakan hingga penggunaan atribut-atribut Natal oleh masyarakat muslim. Dua
isu ini kemudian menjadi diskusi panjang yang cukup meresahkan dan menciptakan
pro dan kontra ditengah masyarakat. Terkait pengucapan selamat Natal,
masyarakat dibagi menjadi dua kubu. Kubu pertama adalah masyarakat yang merasa
lumrah mengucapkan
selamat Natal dalam konteks toleransi
beragama. Pengucapan selamat adalah bentuk dari menghargai, menghormati,
teman-teman non Muslim yang sedang merayakan Natal. Kubu kedua adalah
masyarakat yang melarang mengucapkan selamat Natal kepada mereka yang
merayakannya. Hal ini didasari dengan alasan-alasan yang berkenaan dengan akan
adanya ancaman terhadap aqidah dan kepercayaan masyarakat muslim hingga
penyebutan “menyerupai kafir” apabila masyarakat
muslim menghalalkan ucapan Natal. Dalam menyikapi polemik pengucapan
selamat Natal ini, belum ada ketetapan final yang secara tegas melarang atau
mengijinkan nya. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum
memutuskan atau menyampaikan fatwa perihal ucapan
Natal. Pada pernyataan persnya di tanggal 22 Desember 2017, bertempat di
kantor MUI Jalan Proklamasi, Jakarta Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia KH
Ma’aruf Amin menjelaskan bahwa hal yang mendasari belum adanya fatwa terkait
hal ini adalah karena masih adanya perbedaan pendapat ditengah masyarakat.
Sehingga anjuran yang diberikan oleh Ketua MUI pada saat itu adalah
mempersilahkan bagi umat Islam
yang mau mengikuti pendapat membolehkan ucapan Natal, atau bagi yang mau
mengikuti pendapat mengharamkan ucapan Natal juga dipersilakan.
Pilihannya ada pada umat Muslim sendiri. Masyarakat dibiarkan memilih pendapat
mana yang sekiranya cocok dengan dirinya.
Isu lain yang
cukup menarik perhatian adalah tentang penggunaan atribut-atribut Natal oleh
masyarakat muslim. Isu ini dipicu oleh rilisnya fatwa MUI pada 14 Desember 2016
tentang “hukum menggunakan atribut non-muslim”. Dalam Fatwa itu menyatakan
bahwa menggunakan atau mengajak/memerintahkan penggunaan “atribut keagamaan
non-Muslim” adalah haram. Meskipun tidak secara langsung dalam fatwa tersebut
menyebutkan tentang penggunaan atribut Natal atau hal yang berkaitan dengan
umat Kristiani tetapi dengan dikeluarkan fatwa di bulan Desember yang notabene
berdekatan dengan perayaan Natal menjadi indikasi yang cukup kuat bahwa fatwa
ini merujuk pada “atribut Kristen”, seperti pakaian Sinterklas dan
aksesorisnya. Persepsi ini terbukti dengan dilakukannya sweeping oleh salah
satu ormas Islam di Indonesia yaitu FPI yang cukup menggegerkan. Berangkat
dengan modal alasan “sosialisasi fatwa” atau yang kemudian disebut sebagai
“aksi ta’aruf” oleh FPI, mereka melakukan sweeping dibeberapa pusat
perbelanjaan dan perkantoran di kota-kota di Indonesia. Aksi ini mendapatkan
beragam tanggapan dari berbagai kalangan masyarakat. Banyak yang marah dengan
aksi tersebut karena dianggap sebagai aksi main hakim sendiri yang
menghilangkan fungsi dasar negara sebagai pemilik tunggal alat koersi dan
perlindungan keamanan warga hingga penegasan oleh Kapolri Tito Karnavian yang
menegaskan bahwa “fatwa MUI bukan hukum positif” di Indonesia, sehingga
sosialisasinya jangan sampai menakuti masyarakat.
Kedua isu
tersebut penulis lihat masih akan menjadi potensi isu yang digulirkan di tahun
ini dengan kemasan yang bisa lebih keras atau lebih lembut sesuai dengan
proyeksi politik yang ingin diraih. Mengingat tahun ini adalah tahun politik
dan isu agama sudah menjadi bahan politisasi yang meresahkan dan cukup memecah
belah masyarakat, maka issu tentang sikap muslim dan perayaan Natal akan
menjadi isu senstif yang tidak dapat terhindarkan. Pada dasarnya dalam
menyikapi isu ini perlu kembali merujuk pada hal-hal dasar yaitu tentang
bagaimana seharusnya sikap Islam kepada non Islam, hakikat atribut Natal
dilihat dari sejarahnya hingga Indonesia sebagai negara toleransi.
Merujuk kepada sejarah Islam, Nabi
Muhammad SAW adalah panutan dalam menjalankan hidup bertoleransi. Dalam
ajarannya, terdapat tiga hal utama yang harus dilakukan terhadap non muslim
yaitu menolong non Muslim yang lemah, tidak membalas
kejahilannya, memberikan perlindungan dan pemahaman Islam jika meminta. Hal ini
tercermin dari sebuah kisah dimana Nabi Muhammad mengijinkan orang-orang Kristen Najran untuk
beribadah di Masjid Nabawi di Madinah. Peristiwa bersejarah yang menunjukkan
sikap toleransi nabi ini terjadi di hari minggu setelah Asar tahun 10 H. Lalu
sejak kapan sentimen kepada non muslim terlebih lagi terhadap atribut-atribut
non muslim menjadi begitu kuat? Maka beberapa ahli menyebutkan bahwa pada abad
12 hal yang terjadi adalah dunia Islam diserang dari barat (pasukan Salib) dan
timur (invasi Mongol), ditambah rivalitas antara Baghdad (Abbasiyah) dan Kairo
(Fatimiyah). Suasana perang dan kondisi dalam kepungan musuh seperti ini akan
memengaruhi psikologi massa untuk menegaskan garis pembeda antara musuh dan
lawan dan tuntutan akan komitmen dan loyalitas. Imbasnya adalah identitas
ditegaskan, sehingga hal-hal yang dianggap identik dengan musuh akan dijauhi
bahkan diperangi.
Pertanyaannya, apakah kita rakyat
Indonesia ingin kembali ke jaman dimana perbedaan identitas sengaja dipertegas yang
sejatinya memperdalam jurang permusuhan dan intoleransi? Penulis sangat yakin
kita semua tidak ingin hal itu kembali terulang, disinilah pentingnya menjaga toleransi atas perbedaan agama, suku,
ras, budaya maupun afiliasi politik. Karena perbedaan itu adalah anugerah yang
harus kita syukuri. Mengapa kita harus bersyukur dengan keragaman itu? Dengan
keragaman, kita menjadi bangsa yang
besar dan arif dalam bertindak. Agar keberagaman bangsa Indonesia juga menjadi
sebuah kekuatan, kita bangun keberagaman bangsa Indonesia dengan dilandasi
persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan dan
kesatuan di sebuah negara yang beragam dapat diciptakan salah satunya dengan
perilaku masyarakat yang menghormati keberagaman bangsa
dalam wujud perilaku toleran terhadap keberagaman tersebut. (dpr)
No comments