• Berita Terkini

    UU Otsus Papua Bentuk Dukungan Pemerintah Pusat

    Sidang Lanjutan PUU Otsus Papua, Pemerintah katakan bahwa UU Otsus Papua merupakan bentuk dukungan Pemerintah Pusat untuk masyarakat Papua. Foto Humas/Dedy.

    JAKARTA, HUMAS MKRI - Undang-Undang Nomor  21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) merupakan bentuk dukungan Pemerintah Pusat untuk masyarakat Papua. Hal ini disampaikan oleh Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri R. Gani Muhammad dalam sidang pengujian Perkara Nomor 41/PUU-XVII/2019. Perkara  yang dimohonkan oleh Krisman Dedi Awi Janui Fonataba dan Darius Nawipa digelar pada Senin (7/10/2019) siang di Ruang Sidang Pleno MK. 

    Dalam keterangannya mewakili Pemerintah, UU Otsus Papua ini merupakan bagian dukungan Pemerintah pusat dalam rangka memanfaatkan perangkat demokrasi yang tersedia dalam negara modern seperti parpol, pemilihan umum dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat agar berbagai aspirasi yang dimiliki dapat disalurkan secara baik dan memiliki legalitas yang kuat dan efektif demi tercapainya kehidupan berdemokrasi. Selain itu, rekrutmen parpol di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua dan wajib meminta pertimbangan kepada Majelis Rakyat Papua (MRP). Menurutnya, parpol nasional yang akan membuka cabang di Provinsi Papua harus memprioritaskan masyarakat asli Papua sebagai anggotanya dan meminta pertimbangan MRP sebagai bentuk perwujudan otonomi khusus Provinsi Papua. Sedangkan masyarakat Papua, tanpa membentuk papol lokal pun tetap dapat melaksanakan hak-haknya untuk menentukan nasib sendiri dengan memanfaatkan ruang politik yang telah diberikan oleh Pemerintah Pusat melalui parpol nasional. “Adanya prioritas masyarakat asli papua dalam rekrutmen parpol nasional merupakan tujuan agar aspirasi yang disampaikan benar-benar berasal dari masyarakat Papua. Sehingga dapat mewujudkan seluruh keinginan masyarakat Papua dalam bingkai NKRI,” terang Gani. 

    Kemudian, tambah Gani, otonomi khusus Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas  bagi Provinsi Papua dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Menurut Gani, kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi Papua dan Rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua. “Kewenangan ini berarti juga kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial budaya dan perekonomian masyarakat Papua termasuk memberi peran yang memadai orang-orang asli Papua melalui wakil adat, agama dan kaum perempuan,” ujar Gani. Adapun peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah untuk menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman hidup masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam.

    Tidak Sama dengan Aceh

    Menurut Gani, pengaturan UU Otsus Papua dan UU pemerintah Aceh tidak berarti harus sama. Justru, adanya perbedaan UU tersebut, pemerintah telah mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Sehingga dengan tidak diaturnya parpol lokal di UU Otsus Papua tidak berarti telah terjadi diskriminasi terhadap masyarakat Papua sejalan dengan Pasal 28 UUD 1945. 

    Selain itu, Gani mengatakan bahwa pasal 1 angka 1 UU Parpol menyatakan bahwa partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota masyarakat, bangsa dan negara serta memilihara keutuhan Persatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 

    “Jika melihat dari pasal 1 angka 1 UU tersebut diatas, maka frasa partai politik adalah suatu organisasi yang bersifat nasional bukan bersifat lokal. Sehingga makna pada pasal 28 ayat 1 dan ayat 2 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua yang menyatakan bahwa ayat 1 penduduk Provinsi Papua dapat membentuk parpol. Sedangkan ayat 2 mengenai tata cara pembentukan parpol dan keikutsertaan dalam pemilihan umum sesuai peraturan perundang-undangan. Maka, dapat diartikan bahwa bukanlah parpol lokal seperti Partai Papua Bersatu yang didirikan oleh pemohon tapi parpol nasional yang telah terdaftar di KPU Pusat dan telah mendapat pengesahan sebagai badan hukum dari Kemenkumham,” jelas Gani.

    Pemohon Perkara Nomor 41/PUU-XVII/2019 ini menyampaikan sejumlah alasan permohonan. Kerugian konstitusional yang dialami Permohon bermula pada kasus konkret yang dihadapinya yaitu ditolaknya partai politik Pemohon untuk berpartisipasi dalam Pemilu Legislatif Tahun 2019 oleh KPU Provinsi Papua dan telah dibatalkannya Keputusan Pengesahan Partai Papua Bersatu sebagai badan hukum oleh Kementerian Hukum dan HAM. Alasan penolakan KPU Provinsi Papua untuk melakukan verifikasi karena belum adanya ketentuan hukum yang secara tegas mengatur keberadaan partai politik lokal di Provinsi Papua. Kemudian, pendirian Partai Papua Bersatu merupakan wujud dari hak asasi warga negara yang dilindungi oleh konstitusi yaitu kebebasan untuk berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat, karenanya wajib diberi ruang oleh peraturan perundang-undangan dibawahnya, termasuk Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.

    Dijelaskan Pemohon, awalnya dalam Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, maksud Pasal 28 ayat (1) adalah untuk memproteksi penduduk lokal di Papua agar selalu terwakili pada lembaga legislatif di daerah Provinsi Papua. Karena Provinsi Papua pada akhirnya diberlakukan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua tersebut, menurut Pemohon, partai politik dimaksud adalah partai politik lokal. Selain karena basis dukungannya semata-mata di wilayah Provinsi Papua, utamanya adalah landasan hukumnya bersifat khusus sesuai dengan prinsip hukum lex specialis derogat legi generalis. (Utami/LA)

     

    No comments