• Berita Terkini

    Kebijakan Subsidi BBM: Menegakkan Disiplin Anggaran

     


    Dampak buruk kebijakan subsidi bahan bakar minyak disadari sejak lama namun upaya mencabut kebijakan tersebut tampak sulit dilakukan. Mencabut subsidi berarti menyerahkan penentuan harga minyak kepada mekanisme pasar. Walaupun tersedia mekanisme untuk menstabilkan harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri, kekawatiran terhadap fluktuasi harga BBM akibat perubahan harga minyak di pasar dunia senantiasa menciptakan kekawatiran pengambil kebijakan. Hambatan lainnya adalah pandangan bahwa BBM merupakan barang strategis yang penentuan harganya tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar.

    Di tengah upaya pemerintah mengurangi subsidi BBM, belakangan muncul kebijakan baru berupa pemberian subsidi secara terselubung. Maksud dari kebijakan tersebut diduga untuk mengurangi fluktuasi harga BBM di dalam negeri. Berbeda dengan kebijakan subsidi yang pembiayaannya dianggarkan pada RAPBN sebagai pengeluaran subsidi, subsidi BBM dalam bentuk dana kompensasi dianggarkan dalam pos anggaran dana cadangan untuk pengeluaran lain-lain.

    Kajian ini bertujuan menganalisis kebijakan subsidi BBM dan permasalahan yang muncul akibat kebijakan subsidi BBM secara terselubung dalam bentuk pembayaran kompensasi BUMN akibat penetapan harga BBM yang lebih rendah dari biaya produksinya.

    Tujuan kebijakan subsidi BBM

    Indonesia memberlakukan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sejak bergabung sebagai anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada tahun 1962 untuk meredam inflasi, membantu rakyat miskin, dan melaksanakan pelayanan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 (Chelminski, 2018). Kebijakan tersebut dilakukan berdasarkan pandangan bahwa rakyat Indonesia perlu merasakan manfaat langsung atas kepemilikan sumber daya alam minyak bumi oleh negara. Selain itu, BBM merupakan kebutuhan dasar yang harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan penetapan harga BBM lebih murah dari nilai keekonomiannya, BBM diharapkan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat berpendapatan rendah (miskin). 

    Subsidi BBM berpengaruh pada penghasilan nyata rumah tangga baik secara langsung maupun tidak langsung. Harga BBM murah menyebabkan porsi pendapatan yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan energi bisa ditekan. Selain itu, subsidi BBM berpengaruh secara tidak langsung terhadap pengeluaran rumah tangga karena biaya yang dikeluarkan untuk barang dan jasa lain, terutama yang diproduksi membutuhkan energi, menjadi lebih murah. Dengan demikian, subsidi BBM diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

    Biaya subsidi BBM

    Meskipun pada dasarnya tujuan kebijakan subsidi BBM  untuk mengurangi beban dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi kebijakan tersebut tampaknya bukan kebijakan yang paling efektif untuk memenuhi tujuan ini. Subsidi energi, termasuk bahan bakar minyak, menimbulkan biaya ekonomi, fiskal, sosial dan lingkungan yang signifikan dan bertentangan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berikut ini adalah biaya-biaya yang muncul karena kebijakan subsidi BBM atau subsidi energi pada umumnya.

    Biaya ekonomi

    Subsidi bahan bakar minyak menimbulkan efficiency cost karena mengaburkan sinyal harga. Penetapan harga lebih rendah dari opportunity cost menimbulkan distorsi pada konsumsi dan keputusan investasi. Dampak yang muncul adalah sebagai berikut:

    • Konsumsi berlebihan. Konsumsi berlebih menyebabkan peningkatan permintaan: mengurangi ekspor dan menambah impor. Dengan demikian, subsidi dapat menekan akun lancar (current account) dalam neraca pembayaran, sehingga berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah.
    • Efek subsidi BBM menyebar ke berbagai sektor, khususnya sektor padat energi, memengaruhi biaya produksi dan harga relatif barang yang diproduksinya. Perubahan harga relatif akan memengaruhi daya saing relatif tiap-tiap barang di pasar dunia.
    • Subsidi mengurangi kemampuan dan insentif investasi pada infrastruktur baru dan proses produksi. Subsidi juga menyebabkan memburuknya situasi keuangan perusahaan energi milik negara dan mengakibatkan investasi berkurang. Sebagai contoh, karena harus mengelola program subsidi silang antar daerah dan konsumen, yang mengakibatkan kondisi keuangan Perusahaan Listrik Negara (PLN) terganggu. Kompensasi negara tidak selalu dapat menutupi kesenjangan antara biaya produksi dengan harga jual. Sehingga PLN tidak dapat mendanai investasi baru, memperluas elektrifikasi di daerah pedesaan dan terkadang bahkan melakukan pemeliharaan standar. Akibatnya adalah pengembangan kapasitas pembangkit berkurang dan sering terjadi pemadaman listrik.
    • Distorsi harga dapat pula mengakibatkan kesalahan alokasi sumber daya dan pilihan investasi yang tidak efisien. Subsidi untuk jenis energi atau teknologi tertentu pasti akan merusak pengembangan dan komersialisasi sumber dan teknologi lain yang pada akhirnya mungkin menjadi lebih menarik secara ekonomi (dan juga lingkungan). Dengan demikian, subsidi dapat “mengunci” teknologi dengan mengesampingkan teknologi lain yang lebih menjanjikan.
    • Distorsi harga energi mendorong substitusi input lain (modal dan tenaga kerja) dengan energi. penghapusan subsidi energi dapat mendorong penyerapan tenaga kerja.
    • Kebijakan subsidi dapat menghambat persaingan usaha. Perusahaan energi milik negara, yang ditunjuk menjadi penyalur produk bersubsidi mendapatkan manfaat lebih dibandingkan produsen lain yang menjual produk non subsidi.
    • Kebijakan subsidi mendorong korupsi dan penyelundupan produk bersubsidi ke negara tetangga atau ke sektor non-subsidi di mana harga jual lebih tinggi; menimbulkan biaya administrasi besar untuk pemantauan, mencegah dan menangani penyalahgunaan.

    Biaya fiskal

    Pengeluaran untuk subsidi BBM menjadi beban berat anggaran negara. Penggunaan anggaran untuk subsidi energi mengurangi kemampuan negara untuk membiayai kebutuhan lain, termasuk pengeluaran subsidi pendidikan, kesehatan dan subsidi dan bantuan yang langsung menyasar masyarakat miskin.

    Kebijakan subsidi BBM juga membuat anggaran negara rentan terhadap pergerakan harga minyak bumi di pasar global. Harga minyak bumi di pasar dunia cenderung pro-siklus, naik ketika ekonomi tumbuh lebih cepat. Pengeluaran subsidi cenderung naik ketika ekonomi global tumbuh cepat dan turun ketika ekonomi tumbuh lebih lambat.

    Biaya sosial

    Manfaat subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi sementara biaya subsidi dibebankan pada seluruh pembayar pajak. Karena subsidi bersifat regresif, mereka yang mengonsumsi paling banyak menerima manfaat terbesar dari subsidi tersebut. Survei menunjukkan bahwa konsumsi bahan bakar meningkat seiring dengan tingkat pendapatan. Akibatnya, lebih dari 90 persen subsidi bahan bakar menguntungkan 50 persen rumah tangga terkaya di Indonesia (Agustina et al., 2008). 

    Biaya Lingkungan

    Subsidi BBM dan energi pada umumnya, menimbulkan biaya lingkungan dengan mendorong emisi gas rumah kaca, polusi udara lokal, dan pengurasan sumber daya alam. Kebijakan subsidi bertentangan atau tidak sejalan dengan kecenderungan umum untuk beralih ke ekonomi yang lebih hijau. Dengan menjaga harga tetap rendah secara artifisial, subsidi bahan bakar mendorong konsumsi produk minyak bumi yang berpolusi secara boros. Subsidi BBM mengurangi insentif untuk melakukan efisiensi energi. Dengan mengaburkan sinyal harga, subsidi merusak diversifikasi sumber energi dan teknologi yang lebih bersih.

    Tantangan reformasi subsidi BBM

    Tantangan terbesar terhadap kebijakan penghapusan subsidi BBM adalah adanya anggapan sementara kalangan, termasuk mereka yang terdidik, bahwa negara kita memiliki kekayaan alam minyak bumi cukup banyak sehingga masyarakat berhak mendapatkan BBM dengan harga murah. Harga BBM menjadi persoalan sensitif bagi pemerintah karena kebijakan menaikkan harga BBM selalu mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan. Menghapus subsidi BBM adalah kebijakan tidak popular dan memerlukan upaya keras untuk meyakinkan masyarakat bahwa kebijakan tersebut diperlukan agar pemerintah dapat menyediakan anggaran cukup untuk kebutuhan lain yang memberi manfaat lebih besar bagi orang miskin.

    Selain itu, BBM dianggap sebagai produk strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga penetapan harganya tidak dapat diserahkan berdasarkan mekanisme pasar. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 002/’PUU-112003[1] menyatakan bahwa ketentuan Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dengan demikian, aturan pasal 28 ayat (2) UU Migas yang menyatakan  “harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar” dianggap tidak berlaku.

    Untuk menggantikan aturan pasal 28 ayat 2 UU Migas yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi seperti disebutkan di atas, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 tahun 2009. Pasal 72 PP Nomor 30 tahun 2009 menyatakan bahwa “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diatur dan / atau ditetapkan oleh Pemerintah.”Walaupun tidak mengharuskan pemerintah untuk memberi subsidi, ketentuan tersebut mengharuskan pemerintah melakukan intervensi harga BBM.

    ~o0o~

    B. SUBSIDI BBM DI TENGAH ANCAMAN KRISIS ENERGI

    Indonesia menghadapi persoalan serius di sektor energi, terutama sektor minyak dan gas bumi. Defisit minyak bumi makin membengkak sehingga tidak lagi dapat ditutup oleh surplus produksi gas bumi. Tanpa upaya luar biasa dan segera, defisit perdagangan energi bisa mencapai sekitar US$80 miliar atau 3 persen PDB pada 2040.

    Perkembangan konsumsi dan produksi minyak dan gas bumi 

    Karena konsumsi minyak bumi terus meningkat sementara produksinya berkurang, Indonesia berkembang dari negara net eksportir menjadi net importir minyak dan produk minyak bumi.

    Berdasarkan dana British Petroleum (2020), selama sepuluh tahun terakhir (2010-2019) konsumsi minyak bumi[2]naik rata-rata 2,9 persen per tahun. Selama dua puluh terakhir, pertumbuhan konsumsi cenderung naik. Pada periode 2000-2009, konsumsi minyak bumi hanya naik rata-rata 2,7 persen per tahun. Konsumsi minyak bumi terus tumbuh disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk dan kenaikan konsumsi energi per kapita. Sebagaimana negara-negara Emerging Market pada umumnya, pertumbuhan konsumsi energi Indonesia tergolong relatif tinggi (Lampiran 1). Sementara itu, penggunaan sumber energi terbarukan tumbuh sangat lambat (Lampiran 3), sehingga kenaikan kebutuhan energi langsung berpengaruh pada peningkatan konsumsi minyak bumi.

    Sebaliknya, produksi minyak bumi terus menurun. Pada periode 2010-2019, produksi minyak bumi turun rata-rata 2,3 persen per tahun. Laju penurunan produksi minyak bumi makin berkurang karena tingkat produksinya sudah sangat rendah. Produksi pada 2019 tinggal separuh produksi pada 2000. Pada periode 2000-2009, produksi minyak bumi turun rata-rata 3,3 persen per tahun. Produksi minyak bumi saat ini (2019) hanya sebesar 781,4 ribu barel per hari (285,2 juta barel per tahun) sama seperti tingkat produksi minyak bumi di awal perkembangannya di tahun 1970an.

    Peningkatan konsumsi dan penurunan produksi minyak bumi menyebabkan defisit produksi minyak bumi. Defisit minyak bumi (produksi lebih kecil dari konsumsi) telah terjadi sejak 2003. Saat ini defisit produksi minyak bumi diperkirakan sekitar 800 Ribu barel per hari.

    No comments